Kamis, 04 September 2008

HIV melalui Transmisi Seksual di Flores Timur

Peningkatan kasus HIV-AIDS di Propinsi NTT sangat cepat hingga menembus angka 378 kasus dalam 10 tahun terakhir sejak kasus HIV Positif pertama kali ditemukan di Kabupaten Flores Timur. Secara nasional epidemi HIV-AIDS di NTT masih berada pada epidemi konsentrasi rendah namun jika dilihat dari pola dan trend penularannya maka NTT berada pada level beresiko tinggi dan mengkwatirkan karena sebaran kasus HIV-AIDS sudah merata ke seluruh kabupaten/kota di NTT dengan pola penularan terutama melalui transmisi seksual sebesar 87 % dari total kasus HIV-AIDS di NTT (KPAP NTT 2007).
Flores Timur merupakan satu dari tujuh kabupaten/kota di NTT yang menjadi prioritas akselerasi program HIV-AIDS secara Nasional (KPAN 2007). Hingga saat ini tercatat 13 kasus HIV-AIDS di Flores Timur dengan pola penularan jalur seksual. Jika didasarkan pada fenomena gunung es epidemi HIV-AIDS dimana 1 kasus HIV yang terdeteksi mewakili 1000 kasus HIV dalam komunitas maka sesungguhnya di Kabupaten Flores Timur setidaknya terdapat 10.000 kasus infeksi HIV dalam komunitas.
Secara umum peningkatan kasus HIV-AIDS melalui jalur seksual disebabkan faktor-faktor seperti tingginya angka pekerja migran, kemudahan aksesibilitas transportasi sehingga meningkatkan mobilitas masyarakat terutama bagi “Men Mobile with Money”, dan sebagai jalur “Tour of Duty” bagi penyedia jasa seks. Merujuk pada Survey KAP pekerja seks komersial di Kota Kupang dan data profil PSK di Lokalisasi Karang Dempel Tenau Kupang (PKBI NTT, 2007) menggambarkan mobilitas pekerja seks antar kota di NTT dengan rute Kupang – Kalabahi – Lewoleba – Larantuka – Maumere – Ende – Labuan Bajo dan sebaliknya, bahkan diantara mereka adalah PSK dengan status HIV-Positif yang sedang didampingi oleh PKBI. Jika pekerja seks yang melakukan tour of duty berstatus HIV positif maka dapat dibayangkan berapa banyak pelanggan mereka di setiap kota yang terinfeksi HIV ketika membeli seks pada mereka.
Survey PKBI di Kabupaten Sikka dan Belu (2007) membuktikan bahwa pembeli seks pada pekerja seks komersial bukan saja lelaki dewasa tetapi juga remaja berusia 15 – 24 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja sangat permisif dan sangat beresiko terhadap infeksi HIV-AIDS. Dari survey terbut juga ditemukan diantara mereka ada yang memulai melakukan hubungan seks pertama pada usia yang lebih awal yakni 13 tahun. Hal ini secara substansif lebih disebabkan oleh karena tidaknya adanya pendidikan tentang seks yang baik pada anak-anak dan remaja termasuk pendidikan tentang perlindungan diri dari resiko infeksi HIV-AIDS.
Dari aspek ketersediaan fasilitas hiburan publik seperti pub, disko dan karaoke secara empirik di berbagai tempat menyuburkan industri jasa seks. Meningkatnya industri jasa seks secara bermakna mempengaruhi trend perkembangan kasus HIV-AIDS yang ditularkan melalui jalur seksual pada kondisi dimana tidak ada response intervensi secara memadai yang berdampak pada perubahan perilaku seksual.Kabupaten Flores Timur merupakan salah pemasok pekerja migran terbesar di NTT terutama ke Malaysia sehingga menjadikan Kabupaten Flores Timur sebagi salah satu daerah paling rentan terhadap epidemi HIV-AIDS, hal mana terbukti dari adanya kasus HIV-AIDS di Kabupaten Flores Timur pada kalangan pekerja migran. Fakta ini membuktikan bahwa pemberian informasi perlindungan diri dari resiko infeksi HIV-AIDS kepada pekerja migran tidak dilakukan secara memadai. Jika kondisi ini dibiarkan maka efek penularan berantai akan menjadi pola epidemi AIDS di kabupaten ini. Para pekerja migran akan terus menjadi penular potensial bagi pasangan seksual mereka (isteri atau suami) hingga kepada anak-anak mereka karena pola penularan HIV-AIDS melalui transmisi seksual sejatinya merupakan pintu masuk bagi penularan HIV dari ibu ke anak (mother to child transmision-MTCT). Posisi anak-anak dalam keluarga akan semakin terpuruk oleh HIV-AIDS akibat perilaku seksual orang tua mereka. Oleh karena itu sangat dibutuhkan intervensi terpadu multi pihak agar dapat membangkitkan kesadaran (awarness rising) terhadap bahaya HIV-AIDS pada keluarga-keluarga dalam komunitas sehingga mereka dapat memberikan perlindungan yang memadai terutama bagi anak-anak dalam keluarga mereka